Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
Kalau mendengar kata “profesi hukum,” mungkin yang langsung terbayang adalah hakim dengan palu sidang, pengacara yang berdebat di ruang pengadilan, atau jaksa yang menuntut dengan tegas. Tapi sebenarnya, jadi orang hukum itu bukan cuma soal paham aturan dan pintar bicara. Ada hal yang lebih dalam, yaitu etika dan tanggung jawab profesi.
Etika profesi hukum bisa dibilang sebagai kompas moral bagi mereka yang bekerja di bidang hukum. Ia berfungsi mengingatkan bahwa setiap langkah—baik menulis surat dakwaan, memberi nasihat hukum, maupun memutus perkara—harus berpegang pada kejujuran, keadilan, dan integritas.
Bayangkan kalau pengacara hanya mementingkan kemenangan tanpa peduli kebenaran, atau hakim mengambil keputusan berdasarkan “titipan” bukan fakta hukum. Hasilnya? Hukum jadi kehilangan wibawa dan masyarakat pun kehilangan kepercayaan.
Profesi hukum bukan pekerjaan biasa, karena yang dipertaruhkan adalah nasib orang dan rasa keadilan masyarakat. Tanggung jawab itu setidaknya ada pada beberapa sisi:
Karena hukum pada akhirnya tidak hanya bicara pasal-pasal, tapi juga soal kepercayaan. Kalau masyarakat percaya pada integritas para penegak hukum, maka hukum bisa benar-benar jadi panglima. Tapi kalau etika diabaikan, hukum bisa jadi alat permainan yang merugikan banyak orang.
Etika dan tanggung jawab profesi hukum itu ibarat dua sisi mata uang. Tidak cukup hanya paham aturan, tapi juga harus punya komitmen moral. Karena sejatinya, profesi hukum bukan sekadar mencari nafkah, melainkan juga mengemban amanah untuk menjaga keadilan.
Dengan kata lain, setiap orang hukum memikul beban ganda: tanggung jawab di dunia, sekaligus tanggung jawab moral (bahkan spiritual) untuk tidak mengkhianati kebenaran.