Praktisi Kampus Andalan

Agama

Beragama dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan

Air merupakan sumber kehidupan yang memiliki nilai ekologis, sosial, ekonomi, dan spiritual yang tak ternilai. Dalam banyak kebudayaan di seluruh dunia, air tidak hanya dilihat sebagai kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai entitas suci yang dihormati dan dimuliakan. Hal ini menjadi landasan kuat bagi banyak masyarakat spiritual dan beragama dalam mengelola sumber daya perairan secara berkelanjutan dan penuh tanggung jawab. Di tengah krisis air global dan degradasi lingkungan, pendekatan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas ini mulai menarik perhatian sebagai alternatif yang berkelanjutan, adil, dan bermakna secara moral.

Makna Air dalam Perspektif Keagamaan dan Spiritualitas

Dalam tradisi spiritual dan keagamaan, air sering kali dimaknai sebagai simbol kesucian, pembersihan, dan kehidupan. Misalnya:

  • Islam memandang air sebagai anugerah Allah yang harus digunakan secara hemat dan adil. Konsep hisbah (etika dalam konsumsi) dan mizan (keseimbangan) menjadi dasar penting dalam pelestarian lingkungan, termasuk sumber daya air.
  • Hindu menghormati sungai sebagai dewi (misalnya Sungai Gangga sebagai perwujudan Dewi Ganga), yang berarti pengelolaan air menyatu dengan ritual dan kepercayaan suci.
  • Kristen dan Yahudi menggunakan air dalam sakramen dan ritual pemurnian sebagai lambang kehidupan baru dan penyucian dosa.
  • Dalam tradisi adat nusantara, seperti masyarakat Bali, Dayak, dan Minangkabau, air dimuliakan sebagai bagian dari siklus kosmologis dan digunakan secara bijak dengan kearifan lokal (local wisdom) yang diwariskan secara turun-temurun.

Dengan demikian, air tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai luhur yang mengikat masyarakat untuk menjaganya sebagai bagian dari kewajiban moral dan spiritual.

Peran Masyarakat Secara Spiritual dalam Pengelolaan Air

Masyarakat yang memiliki keterikatan kuat dengan nilai-nilai spiritual cenderung mengembangkan tata kelola air berbasis kearifan lokal dan prinsip etika. Beberapa bentuk pengelolaan ini meliputi:

  • Subak di Bali, yang merupakan sistem irigasi tradisional berbasis spiritualitas Hindu dan pengelolaan komunal. Sistem ini menggabungkan aspek sosial, teknis, dan ritual keagamaan dalam pembagian air secara adil.
  • Sasi laut dan sungai di Maluku dan Papua, yang merupakan larangan adat atas eksploitasi berlebih terhadap sumber daya air selama periode tertentu demi menjaga kelestariannya.
  • Lembaga adat air di masyarakat Sunda atau Minangkabau, yang berfungsi mengatur pembagian air dan penyelesaian sengketa berbasis musyawarah dan ketaatan kepada norma religius dan adat.

Pengelolaan seperti ini mencerminkan paradigma ekosentris, di mana manusia diposisikan sebagai penjaga (steward) yang bertanggung jawab menjaga keharmonisan antara alam dan spiritualitas.

Kontribusi terhadap Pengelolaan Berkelanjutan

Nilai-nilai spiritual dan agama memiliki kekuatan normatif yang mampu membentuk kesadaran ekologis kolektif. Dalam konteks pengelolaan air, nilai seperti amanah (kepercayaan), keadilan distribusi, dan kesucian ciptaan mendorong perilaku konservatif, partisipatif, dan tanggap terhadap kerusakan lingkungan. Masyarakat spiritual sering menjadi pelopor dalam gerakan pelestarian sumber daya air, baik melalui pendekatan edukatif maupun aksi kolektif.

Lebih lanjut, kolaborasi antara lembaga keagamaan, masyarakat adat, dan lembaga negara mulai dikembangkan dalam banyak wilayah untuk mewujudkan tata kelola air yang inklusif dan berbasis nilai. Misalnya, pengintegrasian ajaran agama dalam program pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) atau pelibatan pemimpin spiritual dalam advokasi penyelamatan danau, sungai, dan mata air.

Penutup

Masyarakat spiritual dan beragama memegang peran vital dalam pelestarian sumber daya perairan melalui pendekatan yang menyeimbangkan nilai-nilai suci, moralitas, dan keberlanjutan. Dengan menjadikan air sebagai bagian dari iman dan pengabdian, mereka tidak hanya melestarikan sumber daya alam, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan etika lingkungan. Oleh karena itu, pengakuan dan pelibatan masyarakat spiritual dalam pengelolaan air bukan hanya pilihan strategis, melainkan sebuah keharusan moral dan ekologis dalam membangun masa depan yang lestari.

Contoh Soal dan Contoh Tugas

Tambahkan Materi Sukarelawan

Mahasiswa Sabi

©Repository Muhammad Surya Putra Fadillah